Catatan Perjalanan :

 

Sang Pramugari Dan Penumpang Yang Kecewa

 

Barangkali ini kejadian yang biasa-biasa saja, ketika ada seorang penumpang pesawat yang kecewa oleh pelayanan awak pesawatnya. Paling-paling sang awak pesawat akan minta maaf, dan sesudah itu sebodo amat, mau diterima atau tidak. Tapi bagi saya menjadi peristiwa yang luar biasa, setidak-tidaknya jarang saya jumpai, ketika ada seorang penumpang Singapore Airlines di sebelah saya dalam perjalanan Jakarta – Singapura kecewa berat oleh pelayanan awak pesawatnya.

 

Waktu makan siang di kelas bisnis, seorang pramugari Singapore Airlines membagikan sajian makan siang seperti biasanya, juga kepada penumpang di sebelah saya itu. Saat makan siang selesai dan akan dibereskan, rupanya makanan penumpang di sebelah saya nyaris masih utuh, hanya tampak sedikit bekas dicolek-colek. Melihat hal itu, yang rasanya sudah biasa terjadi, saya beranggapan barangkali penumpang di sebelah saya itu masih kenyang atau paling-paling tidak suka dengan menunya.

 

Sang pramugari juga seperti biasa bertanya : “Apakah Anda tidak suka dengan menunya?”. Jawaban penumpang itu yang membuat saya baru ngeh (menyadari apa yang terjadi). Rupa-rupanya sejak tadi penumpang itu menahan kekecewaan. Terbukti dia langsung menjawab pertanyaan itu dengan keluhan panjang, yang kira-kira maksudnya bahwa tadi dia tidak ditanya lebih dahulu soal menu makannya, dan ternyata menu yang disajikan sangat tidak baik bagi dirinya.

 

Sang pramugari pun seperti baru menyadari “ada yang salah” ketika mendengar keluhan bernada marah dari penumpang di sebelah saya itu. Buru-buru sang pramugari itu minta maaf, bahkan hingga beberapa kali. Tampaknya kekecewaan penumpang itu sudah sangat mendalam. Dari tingkah dan raut mukanya (saya sempat melirik) sekilas terlihat bahwa penumpang itu masih menahan kekecewaannya.

 

Beberapa menit kemudian, pramugari tadi datang lagi dan kembali meminta maaf atas kejadian itu, sambil mengatakan : “saya harap hal ini tidak membuat Anda kecewa”. Betapa kagetnya saya ketika dengan tegas penumpang di sebelah saya itu menjawab “You did!”, sambil menambahkan bahwa dia sudah banyak melakukan perjalanan udara tapi kejadian ini membuatnya sangat kecewa.

 

Sang pramugari seperti kehabisan kata-kata, dan entah berapa banyak saya mendengar kata-kata penyesalan dan permintaan maaf disampaikan oleh sang pramugari. Tapi hingga dia berjalan menjauh, penumpang itu tampaknya masih belum bisa menerima kekecewaannya. Dalam hati saya berpikir, orang ini nanti pasti akan complaint setibanya di Singapura.

 

Pengalaman saya selama ini mengajarkan bahwa kejadian semacam itu adalah lumrah saja, dan selanjutnya akan berakhir dengan akhir yang tidak enak. Sang pramugari merasa sudah berkali-kali minta maaf, sedang sang penumpang tetap memendam kekecewaannya. Peristiwa akan dianggap selesai dengan sendirinya. Itu saja.

 

Tampaknya mulai hari itu saya harus mencatat bahwa pengalaman saya ternyata masih belum lengkap. Apa yang terjadi beberapa menit kemudian, menyadarkan saya bahwa ada hal baru yang seharusnya saya tambahkan dalam daftar pengalaman saya.

 

***

 

Kali ini datang pramugari yang lain, agaknya lebih senior. Dengan senyum manisnya di balik baju seragamnya yang khas seperti iklan-iklan Singapore Airlines di TV, sang pramugari senior ini mendekati penumpang di sebelah saya, dan mengawali pembicaraan dengan meminta maaf atas kejadian tadi. Sang pramugari ini lalu menjanjikan akan membantu mengatur menu yang sesuai, untuk perjalanan lanjutan yang akan dilakukan oleh penumpang di sebelah saya. Mulailah sang pramugari ini menanyakan kepada penumpang yang sedang kecewa berat itu kemana tujuan akhirnya, dengan pesawat apa, dan seterusnya.

 

Lalu sambil berlutut di sebelah tempat duduk penumpang itu (sebab kalau tidak, pramugari itu pasti akan kecapekan bicara sambil nungging), sang pramugari dengan lihai mulai menggiring pembicaraan ke hal-hal yang lebih bersifat pribadi. Diajukannya dengan sopan dan lembut pertanyaan-pertanyaan seperti : perjalanan ini dari mana, mau kemana, berapa lama, dalam rangka apa, pekerjaannya apa, tugasnya dimana, berasal dari mana, dsb.

 

Di luar dugaan saya, sang pramugari ternyata berhasil mem-pribadi-kan suasana, hingga penumpang di sebelah saya pun dengan enak menjawab semua pertanyaan itu. Suasana dialog lalu berubah menjadi layaknya pembicaraan dua orang yang sudah lama saling kenal. Sekitar sepuluh menit diperlukan oleh sang pramugari untuk merubah muka cemberut penumpang yang kecewa berat ini hingga lumer menjadi sumringah (cerah) air mukanya (saya sempat sesekali mencuri pandang sambil nguping pembicaraan, sebab tentu tidak etis kalau saya sengaja menolehkan kepala untuk memperhatikannya).

 

Bagi saya, ini kejadian yang luar biasa. Peristiwa kekecewaan mendalam yang tadi itu kini berakhir dengan happy ending. Terbukti ketika sang pramugari akan pamit meninggalkannya, merekapun saling mengucapkan terima kasih.

 

Sungguh ini membuat saya gumun (heran). Gumun bukan saja kepada kepiawaian sang pramugari menetralisir suasana, tapi lebih karena pertanyaan yang kemudian timbul di otak saya : “Kenapa saya nyaris tidak pernah menjumpai peristiwa seindah ini di dalam masyarakat bangsa saya yang selalu bangga dengan sebutan bangsa yang ramah?”. Padahal jutaan peristiwa layanan masyarakat semacam ini terjadi setiap detiknya.-

 

New Orleans, 1 Maret 2000.

Yusuf Iskandar

 

 


[Kembali]