Catatan
Perjalanan :
Minggu yang lalu saya melakukan perjalanan ke kota
Phoenix (ibukota negara bagian Arizona). Wilayah Arizona ini berada di sebelah
selatan agak ke barat daratan Amerika dan di sebelah selatannya berbatasan
dengan negara Mexico. Perjalanannya sendiri sebenarnya hal yang biasa-biasa
saja, dalam arti saya berangkat dan pulang naik pesawat, siang hari kerja dan
malam tidur di hotel. Namun justru dalam hal yang biasa itu saya menjumpai dan
mengalami beberapa kejadian menarik yang berkaitan dengan perilaku dan pola
hidup nenek-nenek Amerika.
Seperti biasanya ketika hendak berangkat menuju
bandara saya menilpun taksi. Pagi itu, Rabu, 7 Juni 2000, ternyata taksi yang
menjemput saya disopiri oleh seorang wanita, yang lebih tepat saya sebut
seorang nenek. Meskipun saya lupa menanyakan umurnya, tapi dia mengaku
mempunyai dua orang anak sebaya saya dan mempunyai dua orang cucu yang sebaya
anak saya. Maka saya taksir usianya sekitar 60-an. Tapi jangan heran, pagi itu
dia masih mampu melaju dengan cermat pada kecepatan lebih 50 mil/jam (lebih 80
km/jam), malah memberi “bonus” dengan dua kali menyerobot lampu kuning yang
sudah menjelang merah, saat melalui perempatan jalan.
Tahun ini adalah tahun ke-13 dia menyopiri taksi
miliknya sendiri. Dia bergabung dengan perusahaan jasa angkutan yang bertindak
sebagai dispatcher (pengatur perjalanan) dengan membayar sejumlah biaya
per bulannya. Dia mengaku menarik taksi hanya pada siang hari dari Senin hingga
Jum’at saja. Selebihnya hari Sabtu dan Minggu adalah hari-hari milik cucu-cucunya
dan milik hari tuanya sendiri (yang menurut pikiran saya malah sebenarnya jadi
tidak punya hari tua). Apa yang membanggakannya? Dia merasa menjadi juragan
bagi usahanya sendiri, berkehidupan mandiri tanpa bergantung pada orang lain.
Ketika transit di bandara internasional Houston
(Texas), karena menunggu pesawat lanjutan yang masih cukup lama, saya
duduk-duduk di kafe menghadap ke lorong di dalam bandara sambil makan pizza
sebagai makan siang. Di depan saya lewat seorang ibu agak gemuk yang juga lebih
tepat saya sebut nenek kalau melihat raut muka dan penampilannya. Sambil
berjalan lambat dia mendorong trolly atau kereta dorong untuk barang
bawaan menuju ke ruang tunggu.
Entah kenapa, barangkali menyusun barangnya kurang
rapi, sebuah tasnya yang ternyata belum rapat ditutup tiba-tiba merosot ke
belakang dan jatuh tepat di depan langkah kakinya. Hal yang tiba-tiba ini tentu
saja membuat sang nenek lambat untuk bereaksi menghindar, dan diapun tersandung
tasnya sendiri yang lalu berantakan. Gerak refleksnya membuat dia lalu
berpegang erat pada kereta dorongnya, yang kemudian berakibat keretanya
mendongak ke atas karena terbebani di bagian belakangnya. Akhirnya kereta
dorong itu rubuh bersama-sama dengan badan gemuk sang nenek yang masih
memeganginya. Minuman coke-nya pun tumpah bersama es batu yang menyebar
di lantai berkarpet.
Tidak ada orang lain yang berada lebih dekat dari
saya saat itu, maka spontan saya hampiri sang nenek, saya bantu merapikan
barang bawaannya, sambil tidak lupa mengajukan pertanyaan “standard” : “Are
you OK?”. Setelah yakin sang nenek memang OK punya, sayapun kembali ke
tempat duduk saya di kafe. Sang nenek kemudian berjalan menepi membuang gelas
kertas tempat coke-nya yang sudah kosong itu ke tempat sampah, sambil kedua
tangannya memegangi pinggangnya. Kemudian dia mendorong keretanya pelan dan
menjauh. Barangkali mau mencari tempat duduk yang agak longgar agar bisa
beristirahat sambil mengelus-elus boyoknya (pinggangnya) yang sakit,
pikir saya.
Sampai di sini saya menduga episode nenek jatuh
sudah selesai. Ternyata dugaan saya keliru. Sesaat kemudian nenek itu kembali
lagi dengan membawa benda warna jingga berbentuk corongan plastik, persis sama
seperti yang biasa dipergunakan oleh pekerja yang sedang memperbaiki jalan raya
atau yang dipakai Pak Polisi untuk mengalihkan lajur jalan. Corongan itu lalu
diletakkannya di depan tempat tumpahan minumannya tadi. Saya hanya bisa
berkesimpulan, rupanya sekalipun sang nenek sudah kepayahan akibat jatuh tadi,
dia masih sempat berupaya agar orang lain tidak terganggu oleh bekas tumpahan
es batu yang berserakan di lantai yang basah oleh coke-nya itu.
***
Agak lama saya menunggu pesawat lanjutan menuju
Phoenix, yang nantinya ternyata memang batal terbang, saya pindah duduk di dekat
dinding kaca yang menghadap ke landas pacu pesawat. Di depan sebelah kanan saya
ada seorang nenek duduk bersama dengan cucu perempuannya yang agak cerewet khas
anak-anak. Terjadi dialog antara mereka berdua yang membuat saya tersenyum
dalam hati.
Sang cucu rupanya mengajak main tebak-tebakan dengan
neneknya. Bandar udara Houston memang cukup ramai lalu lintas penerbangannya,
sehingga setiap kali ada pesawat lewat dan tampak di depannya, sang cucu
berkata : “Pesawat itu mau naik”. Sang nenek yang lagi asyik merenda benang
yang agaknya memang sengaja dibawa dari rumah, lalu menengok ke depan dan
menjawab : “Bukan, itu baru saja mendarat dan mau berhenti menurunkan
penumpangnya”.
Ada lagi pesawat lewat, sang cucu berkata lagi :
“Nah,
itu juga mau terbang”.
“Itu
juga mau berhenti”, kata neneknya membenarkan omongan sang cucu.
Ada lagi pesawat lewat :
“Nah,
itu mau berhenti”, kata sang cucu.
“Kalau
yang itu mau terbang”, kata sang nenek sambil menolehkan kepalanya ke depan
lagi.
Ada lagi pesawat lewat :
“Itu
berangkat lagi”, kata sang cucu.
“Itu mau
berhenti”, kata sang nenek.
“Itu ada
lagi”, kata cucunya lagi. Rupanya lama-lama sang nenek yang lagi asyik merenda
benang merasa kesal juga dengan laku cerewet sang cucu. Lalu dengan cuek
sang nenekpun nyeletuk yang kira-kira begini : “Embuh, ah…..”.
Sesayang-sayangnya seorang nenek terhadap cucunya,
suatu saat ternyata bisa juga dia kehilangan kesabarannya, saat dia sendiri
sedang asyik dengan kesukaannya. Manusiawi sekali.
***
Dalam perjalanan saya kembali ke New Orleans sembilan hari kemudian, Jum’at, 16 Juni 2000, lagi-lagi pesawat dari Phoenix dibatalkan, sehingga rute penerbangan saya dialihkan dari semestinya transit di Houston (Texas) menjadi transit via Denver (Colorado).
Di bandara Denver, sambil menunggu pesawat sambungan
menuju New Orleans, saat itu sekitar jam 7:00 malam, saya mampir ke sebuah kafe
untuk mencari sekedar pengganti makan malam. Ketika antri di depan kasir, di
depan saya ada seorang nenek. Kali ini benar-benar seorang nenek kalau melihat
raut mukanya yang sudah keriput dan berjalannya yang thunuk-thunuk
(sangat pelan dengan badan agak membungkuk), kira-kira kalau berjalan dengan
langkah saya satu banding tiga. Pendengarannyapun sudah berkurang, terbukti
kasir kafe dicuekin saja ketika mengajak bicara saat membayar.
Setelah memperoleh apa yang dipesannya, dengan
santai diapun berdiri menambahkan gula dan creamer ke dalam kopinya
(memang sudah biasanya hanya akan diberikan kopi tanpa gula kalau kita pesan
kopi). Sang nenek lalu berdiri di pojok menikmati makanannya. Kebetulan saat
itu kafe sedang penuh orang-orang muda yang sambil makan menyaksikan siaran
langsung di layar TV lebar final kejuaraan basket NBA putaran kelima antara
Pacers (Indiana) melawan Lakers (Los Angeles), yang akhirnya dimenangi oleh
Pacers dengan skor 120-87 dan membuka peluangnya untuk menyelesaikan the
best-seven.
Barangkali inilah cermin kemandirian (dan
individualis?) manusia Amerika. Tanpa perduli laki-laki atau perempuan, tua
atau muda, setiap orang dianggap mesti mandiri dengan keberadaannya. Maka yang
lalu terjadi adalah, seorang nenek setua itu masih sanggup bepergian seorang
diri (meskipun naik pesawat) dan makan sambil berdiri di pojok kafe yang penuh
orang, sementara puluhan orang muda tanpa perlu merasa “sungkan” atau “tidak
sopan” bersorak di tempat duduknya di sebelah sang nenek ketika seorang pemain
Lakers berhasil membuat nilai.
Malam harinya, di dalam pesawat menuju New Orleans,
di samping kiri saya duduk seorang nenek dan di sampingnya lagi duduk seorang
ibu yang kira-kira berusia sedikit di atas saya yang ternyata adalah anak dari
nenek di sebelah saya. Sejak duduk di pesawat nenek tadi mulai membuka-buka
majalah wanita (saya lupa memperhatikan nama majalahnya), hingga seperempat
perjalanan sang nenek ini asyik saja membaca. Hingga saya tertidur dia masih
membaca.
Saat saya terbangun dia juga masih saja membaca.
Kelihatannya sang nenek di sebelah saya ini punya kebiasaan yang bagi saya
tidak umumnya dilakukan oleh seorang nenek ketika sedang dalam perjalanan,
yaitu membaca dan membaca. Saya jadi ingat, boro-boro membaca, nenek
saya di kampung sana pasti memilih tidur kalau sedang dalam perjalanan, atau
(katakanlah) sedang menghabiskan waktu.
Ketika tiba di New Orleans tengah malam, sang nenek
sempat nyeletuk kepada saya “Tadi enak sekali tidurnya”. Saya paham itu
pertanyaan basa-basi, lalu sayapun menjawab juga sebagai basa-basi :”Iya,
terima kasih”. Entah kata-katanya itu pujian atau sindiran (karena malam itu
memang saya merasa sangat capek hingga tertidur lelap), saya tetap perlu
berterima kasih sebagai basa-basi gaya Amerika.
***
Ada tingkah laku, pola hidup dan kebiasaan yang bagi saya “berbeda” dari yang biasanya saya jumpai dengan nenek-nenek di kampung saya di Jawa sana. Barangkali saja semua peristiwa yang saya jumpai dan alami tadi adalah kebetulan belaka, atau tidak berlaku umum bagi setiap nenek di Amerika. Akan tetapi, paling tidak saya telah menemukan kesan bahwa ada kebiasaan (yang tentunya tumbuh akibat didikan sejak kecil) dalam diri nenek-nenek itu yang bernilai positif : mandiri dan percaya diri. Nilai-nilai itulah yang justru seringkali membuat kita terpuruk di belantara pergaulan masyarakat global.
Barangkali kesan saya keliru, tapi yang jelas saya merasa senang dan terhibur bisa belajar dari melihat perilaku dan pola hidup nenek-nenek Amerika.-
(New Orleans, 20 Juni 2000).-
Yusuf Iskandar
[Kembali]