Catatan
Perjalanan :
Berawal dari rencana untuk menghadiri
acara social gathering keluarga masyarakat Indonesia-Amerika
(Indonesian-American Community Association - IACA) di sebuah desa di luar kota
New Orleans. Desa itu terletak di bilangan kota kecil Thibodaux, kira-kira
berjarak 60 mil (sekitar 96 km) arah barat daya dari New Orleans. Mengingat
acaranya akan diselenggarakan pada sore hari (tepatnya hari Sabtu malam Minggu)
di lokasi yang agak jauh, maka sekalian saja saya menyusun rencana melakukan
perjalanan keluar kota menjelajahi belahan lain dari wilayah negara bagian
Louisiana yang belum pernah kami kunjungi.
Sekalian saya merencanakan
untuk mengunjungi keluarga seorang teman seperguruan yang sekian tahun lalu
pernah sama-sama berguru di sebuah perguruan tinggi di Yogya, UPN “Veteran”
Yogyakarta. Mas Anton Maladi (TM-1977) yang sekarang bergabung dengan sebuah
perusahaan minyak Unocal, bersama keluarganya saat ini sedang bertugas di kota
Lafayette. Rute jalan yang menuju Lafayette ini kira-kira searah atau
sekurang-kurangnya tidak terlalu jauh menyimpang dari rute menuju ke Thibodaux.
Hari Kamis malam sebelumnya,
Mas Anton saya hubungi dan lalu direnacanakanlah acara silaturrahmi atau gathering
kecil-kecilan antar kedua keluarga kami, bertempat di rumah Mas Anton di
Lafayette pada hari Sabtu siang.
***
Sabtu pagi, 3 Maret 2001,
cuaca New Orleans rada kurang bersahabat. Bukan tidak memperhatikan ramalan
cuaca, namun saya berharap ramalannya agak meleset. Ternyata saya terlalu
berprasangka buruk kepada peramalnya. Ya maklum, sewaktu di Indonesia saya
terbiasa berprasangka buruk kepada sang peramal cuaca. Sejak pagi awan hitam
sudah menggantung di langit New Orleans, hujan deras pun menyusul disertai
petir menyambar-nyambar.
Rencana berangkat agak pagi
jadi tertunda. Malahan sudah siap-siap angkat tilpun untuk memberitahu Mas
Anton bahwa rencana silaturrahmi tidak dapat terpenuhi. Namun syukurlah,
sekitar jam 10:30 cuaca buruk agak mereda. Langit masih hitam, namun hujan dan
petir tidak lagi semenakutkan sebelumnya. Maka sekitar jam 11:00, kami lalu
memutuskan untuk segera berangkat menuju Lafayette yang berjarak sekitar 135
mil (216 km) di arah barat New Orleans.
Belum lama meninggalkan New
Orleans, hujan deras kembali mengguyur, meskipun tidak lagi disertai petir.
Sebenarnya jarak New Orleans - Lafayette tidak terlalu jauh, normalnya dapat
saya tempuh paling lama 2,5 jam perjalanan melalui jalan bebas hambatan
Interstate 10 (I-10). Namun karena sekitar tiga-perempat perjalanan siang itu
kami lalui dalam hujan, maka saya perlu agak mengendalikan kecepatan kendaraan,
di bawah batas maksimum yang diperbolehkan (speed limit). Sesekali mencuri
batas kecepatan ketika sedang berada di jalanan yang agak kering
Menjelang tiba di kota
Lafayette, saya keasyikan melaju di jalan Highway 90 (Hwy 90), sehingga kurang
memperhatikan rambu petunjuk arah membelok ke barat. Akibatnya saya kebablasan
di rute yang salah. Terpaksa kemudian mencari jalan tembus untuk memutar
kembali ke Lafayette, melalui kota kecil Iberville. Baru sekitar jam 2:30 siang
kami tiba di rumah Mas Anton.
Kami pun disambut dengan
hangat oleh Mas Anton, istri dan kedua putra-putrinya, meskipun terlambat tiba
dari waktu yang direncanakan semula. Sambutan hangat layaknya seperti
bertemunya teman lama yang tidak pernah ketemu. Dan, memang sebenarnya kami
belum pernah ketemu sebelumnya. Hanya ikatan almamaterlah yang membuat
pertemuan kami siang itu serasa akrab. Apalagi sama-sama merasa berada di
tempat yang jauh dari kampung halaman di Yogya sana.
Siang itupun kami terlibat
dalam obrolan mengasyikkan tentang masa sekolah dulu. Lengkap dengan “saat-saat
tidak menguntungkan” ketika harus bertahan bertahun-tahun untuk dapat
menyelesaikan sekolah di perguruan tinggi tidak negeri (sementara teman-teman
lain yang lebih beruntung dapat bersekolah di perguruan tinggi negeri hanya
perlu beberapa tahun saja). Ceritera tentang teman-teman lama yang sudah pada
bertebaran dimana-mana, juga menjadi bagian dari reuni kecil-kecilan kami siang
itu. Saya jadi tahu kalau Mas Heru Pramono yang sekarang ada di Balikpapan
sebenarnya juga suka tulis-menulis.
Perbincangan tentang travelling
di Amerika tidak kami lewatkan, karena rupanya Mas Anton dan keluarganya sudah
punya rencana untuk “keliling setengah Amerika”. Lalu saya jadi ingat Mas Wahyu
Suharyo (TM-1988) yang sekarang bergabung dengan perusahaan Halliburton dan
tinggal di kota Hobbs, negara bagian New Mexico. Di tengah kesibukannya
menyelesaikan program Doktor, Mas Wahyu juga menyimpan rencana untuk “keliling
setengah Amerika”, mungkin malah akan lebih dari setengah.
Ujung-ujungnya, sajian makan
siang (menjelang sore) dengan menu Indonesai yang ….. uuuenak sekali,
hasil masakan istri Mas Anton, melengkapi acara silaturrahmi kami siang itu.
Tidak terasa, waktu telah menjelang jam 05:00 sore. Teriring ucapan terima kasih,
kami lalu berpamitan untuk melanjutkan perjalanan dan meninggalkan kota
Lafayette.
***
Kota Lafayette yang terletak
pada elevasi sekitar 12 m di atas permukaan laut dan berpopulasi sekitar 95,000
jiwa, siang itu tampak cukup padat. Ini memang kota kecil yang pernah berjaya,
antara lain karena berkembang pesatnya industri perminyakan. Dapat dikatakan
kota ini dahulu pernah menjadi pusat industri minyak dan gas di kawasan lepas
pantai Teluk Mexico. Banyak perusahaan yang bergerak di bidang industri perminyakan
yang membuka kantornya di kota ini, meskipun belakangan ini mulai berkurang.
Kota Lafayette dulunya
bernama Vermillionville. Mulai berkembang sejak dibangunnya jaringan kereta api
yang menghubungkan kota New Orleans (Louisiana) dan Houston (Texas) pada tahun
1881. Tiga tahun kemudian kota ini berganti nama menjadi Lafayette sebagai
penghargaan kepada seorang jendral berkebangsaan Perancis, bernama Marquis de
Lafayette, di jaman Revolusi Amerika.
Penduduk asli Lafayette
adalah para petani asal Perancis yang pernah terdampar di daratan Nova Scotia,
di ujung tenggara Canada dekat dengan ujung timur negara bagian Maine. Ketika
datang bangsa Inggris pada tahun 1700-an, para pendatang dari Perancis yang
kemudian disebut French Acadian ini terusir dari Nova Scotia dan lalu menempuh
perjalanan sangat panjang menuju ke wilayah baru di sisi barat daya Louisiana.
Keturunan dari masyarakat
French Acadian ini kemudian dikenal dengan sebutan masyarakat Cajun yang hingga
kini masih banyak mempraktekkan dialek bahasa Perancis dan masih mengembangkan
tradisi budaya leluhurnya. Oleh karena itu tidak heran kalau di kawasan
Lafayette dan umumnya wilayah barat daya Louisiana kini banyak ditemui nama-nama
atau sebutan yang berbau Perancis.
***
Dari Lafayette, kami
langsung menuju ke jalan Hwy 90 menuju ke arah tenggara. Saya dapat memacu
kendaraan pada kecepatan maksimum karena lalu lintas sore yang cukup cerah saat
itu tidak terlalu padat. Untuk mencapai kota Thibodaux saya perkirakan akan
memakan waktu sekitar 1,5 jam melalui jalan Hwy 90 yang melintas di sisi
selatan kota-kota New Iberia, Franklin dan Morgan City, sebelum akhirnya saya
berpindah ke Hwy 20 yang menuju ke utara.
Hari sudah gelap sebelum
saya mencapai kota Thibodaux. Kondisi ini membuat saya kurang tajam
memperhatikan tulisan nama-nama jalan. Maka …, kebabalasan lagi! Akhirnya kami
terlambat tiba di tempat acara social gathering keluarga masyarakat
Indonesia-Amerika (IACA). IACA adalah wadah berhimpunnya segenap warga
masyarakat Indonesia-Amerika maupun para simpatisan, khususnya yang tinggal di
kawasan New Orleans dan sekitarnya. Arisan adalah salah satu kegiatan yang
dipandang menarik. Menarik, karena tidak cukup dengan satu-dua kalimat untuk
menjelaskan arti sebuah kata ini dalam bahasa Inggris.
Akhirnya, menjelang tengah malam kami baru tiba kembali di New Orleans setelah menempuh perjalanan santai lebih satu jam dari sebuah desa di sebelah utara Thibodaux.-
New Orleans, 6 Maret 2001.
Yusuf Iskandar
[Kembali]