Catatan
Lebaran :
1. Itulah
Indonesia : Ada Natal – Lebaran – Tahun Baru
Penghujung tahun 2000 ini memberi suasana khusus
bagi masyarakat Indonesia. Itu karena dalam kurun seminggu ada tiga hari besar yang
merupakan hari libur nasional yang menjepit beberapa hari kerja biasa. Maka
saya sebut saja ada Harburnas (Hari Libur Nasional) dan Harpitnas (Hari
Terjepit Nasional) yang sambung menyambung menjadi satu. Dan, itulah Indonesia.
Suasana yang khusus itu menjadi lebih khas lagi
karena di Indonesia ada tradisi mudik. Maka dalam seminggu ini pemudik muslim
yang akan merayakan Lebaran menjadi satu dengan pemudik nasrani yang akan
merayakan Natal. Kedua jenis pemudik ini lalu memperpanjang waktu mudiknya hingga
Tahun Baru 2001. Klop sudah, para pemudik akan tumplek blek (tumpah
ruah) memenuhi jalan-jalan dan sarana transportasi yang ada, lalu turut
meramaikan suasana Natal dan Lebaran di desa-desa atau di kampung-kampung asal
mereka.
Sayangnya saya tidak menemukan angka perkiraan
berapa jumlah total pemudik tahun ini. Saya hanya menemukan data
sepotong-sepotong yang dilansir oleh PT Jasa Marga, para kepala terminal,
kepala stasiun, kepala pelabuhan penyeberangan dan kepala-kepala lainnya yang
berurusan dengan sarana transportasi.
Karena itu saya akan mengutip angka asumsi yang
dikemukakan oleh Dekan Fakultas Ekonomi Unair Surabaya, Prof. Dr. H. Suroso
Imam Zadjuli SE. Berdasarkan jumlah pekerja sektor industri, pertokoan,
pedagang asongan, pembantu rumah tangga dan TKI yang pulang kampung, jumlah
pemudik tahun ini diperkirakan lebih dari 15 juta orang.
Dari jumlah pemudik itu diperkirakan akan membawa
dan mengedarkan uang sekitar Rp 20 trilyun ke desa-desa asal mereka. Suatu
jumlah yang luar biasa jika dibandingkan dengan APBN kita. Suatu jumlah rupiah
yang (kalau benar) tentunya akan mampu membuat gebyar-nya desa-desa di
Indonesia di sektor ekonomi. Sayangnya, meskipun tidak disinggung secara
eksplisit, saya memprediksi semua proyeksi itu masih terfokus kepada desa-desa
di Jawa.
Setiap kali bicara tentang mudik, maka selama ini
pusat perhatian kita umumnya akan tertuju ke kota Jakarta. Karena memang di
Jakartalah menumpuknya jumlah pekerja dari berbagai pelosok desa di Indonesia,
baik yang bergerak di sektor formal maupun non-formal.
Kita boleh berharap, kalau kelak otonomi daerah
sudah berjalan dengan baik, tentu beban pemerintah untuk menangani arus mudik
tidak lagi terpusat di Pulogadung, Gambir, Cengkareng, Cililitan, Cikopo, Merak
atau jalur pantura. Melainkan sudah akan terbagi rata di tiap-tiap kota
propinsi karena pusat aktifitas bisnis dan pemerintahan juga akan terbagi rata.
Atau dengan kata lain, setiap propinsi sama-sama akan menjadi pusat menumpuknya
tenaga kerja, baik di sektor formal maupun non-formal.
***
Perjalanan mudik memang mempunyai arti khusus. Tidak
hanya di sektor ekonomi, tetapi lebih kepada arti ritual. Tidak ada saat yang
paling dramatis untuk saling memohon dan memberi maaf selain sungkem
(bersimpuh meminta maaf) di saat Idul Fitri, kepada mereka yang lebih tua atau
yang dituakan dan terutama kepada orang tua sendiri.
Berbahagialah mereka yang sempat melakukan
perjalanan mudik sehingga dapat bertemu dan berkumpul dengan segenap
sanak-keluarga, handai-taulan dan terlebih dengan orang tua sendiri.
Setidak-tidaknya, dapat berziarah ke makamnya jika orang tuanya sudah meninggal
dunia. Barangkali inilah yang mendorong kenapa setiap orang akan berusaha keras
untuk dapat pulang mudik setiap kali Lebaran tiba, untuk mempererat tali
silaturrahmi antar anggota keluarga dan sanak-saudara, yang lalu dirayakan
dengan makan ketupat, opor ayam dan sambal goreng hati.
Hal yang sama juga dialami oleh kaum nasrani. Setiap
Natal menjelang, mereka juga berusaha untuk dapat berkumpul dengan keluarga
serta sanak-saudara di kampungnya. Maka seminggu yang penuh dengan Harburnas
dan Harpitnas kali ini akan memberi nuansa berbeda, ketika kaum muslim yang
berlebaran menjadi satu dengan kaum nasrani yang natalan di kampung yang sama.
Soal beribadah memang menjadi tanggung jawab,
kewajiban dan urusan masing-masing. Namun ketika mereka yang lebaran dan yang
natalan saling ketemu dan berjabat tangan, akan merupakan sebuah bangunan
silaturrahmi yang penuh kedamaian, persahabatan, suka-cita, dan….. “lho,
ternyata hidup rukun itu kok indah……...”
Pemudik natalan akan saling mengucapkan : “Selamat
Natal” yang biasanya dirangkai dengan “Selamat Tahun Baru”. Pemudik lebaran
akan saling mengucapkan : “Selamat Idul Fitri”, atau “maaf lahir-batin”, atau “taqabbalallahu
minna wa-minkum”. Atau, yang paling sering dan umum diucapkan adalah “minal
aidin wal-faidzin”. Saking terbiasanya dan seringnya kata-kata itu
diucapkan sehingga kita sering salah kaprah mengidentikkan maknanya menjadi
“maaf lahir-batin”, atau malah mengabaikan maknanya sama sekali. Asal “numpang
lewat” di bibir.
Padahal sesungguhnya kata-kata yang tersurat
kurang-lebihnya berarti “dari kesucian ke kebahagiaan” itu tersirat makna yang
sangat dalam sebagai sebuah bangunan doa : “semoga rahmat (rahmah),
ampunan (maghfirah) dan pembebasan dari api neraka (‘ithkum minannar)
yang diraih setelah sebulan berpuasa Ramadhan itu dapat mengantarkan kita untuk
kembali kepada kesucian jiwa dan menuju ke gerbang kebahagiaan serta kemenangan
di hari Idul Fitri”.-
Itulah Indonesia. Di Amerika dan negara-negara
sekuler lainnya tidak akan pernah dijumpai peristiwa semacam ini karena mereka
tidak memiliki tradisi mudik yang berbau ritual seperti halnya di Indonesia.
Mudik memang sekedar tradisi, tapi ada nilai-nilai luhur di balik tradisi itu
yang siapapun tidak dapat menyangkal kalau bukan karena ada halangan yang tak
terhindarkan pasti setiap orang akan berusaha melakukan tradisi mudik.
***
Tahun ini memang menjadi sangat khusus, karena hari
Idul Fitri jatuh di tengah-tengah antara hari Natal dan Tahun Baru. Sekalipun
di antaranya terselip hari-hari kerja biasa, maka hari-hari itu menjadi
berkategori Harpitnas yang di-Harburnas-kan oleh siapapun pemudik tahun ini.
Kejadian yang mungkin baru akan terulang 32-33 tahun kemudian. Itupun belum tentu Lebaran akan jatuh di antara Natal dan Tahun Baru. Kemungkinannya, 32 tahun lagi Lebaran akan datang setelah Tahun Baru dan setahun berikutnya Lebaran jatuh sebelum Natal. Lebih pastinya dapat ditanyakan kepada para ahli penanggalan, kapan lagi kejadian seperti ini akan terulang kembali. Maka beruntunglah manusia di Indonesia yang mengalami Harburnas dan Harpitnas di penghujung tahun 2000 ini.- (Bersambung).
[Sebelumnya][Kembali][Berikutnya]