Catatan Kiriman Sahabat :
Lima belas tahun yang lalu, saat pertama kali
menginjakkan kaki di Amerika, saya dijemput oleh seorang Amerika tua disana.
Katanya : "Welcome to the State.... the Land of Freedom". Saat
itu saya menafsirkan freedom sebagai "bisa berbuat sekehendak hati,
tanpa orang lain bisa melarang". Sampai suatu saat saya dinyatakan tidak
lulus ujian SIM, karena saya tidak mempersilahkan pejalan kaki di pinggir untuk
menyeberang.
Saya protes keras kepada penguji yang duduk di
sebelah kananku : "Sir, tidak ada aturan di buku petunjuk ujian SIM
ini, bahwa saya harus mempersilahkan pejalan kaki untuk menyeberang !".
"You're right man, memang tidak ada" jawab pengujiku. "Tapi itu adalah sopan santun mengemudi di Amerika Serikat".
“Lho, ada sopan
santun to?”, kata hatiku.
Saya benar-benar mengalami kesulitan
menjelaskan kepada kawan-kawan di Jakarta yang belum pernah ke sana, tentang
cara hidup orang Amerika. Bahwa bangsa Amerika bukan bangsa yang tidak mengenal
sopan santun, tidak mengenal budaya tinggi, atau terlalu individualistis,
seperti yang sering kita lihat di film-film.
Saya tidak mengatakan mereka
lebih beradab daripada kita, tetapi untuk mengatakan mereka tidak memiliki sopan santun sama sekali adalah "totally
wrong". Kenyataannya, saya
selalu menemukan orang-orang yang dengan sopan membukakan pintu toko buat saya,
menanyakan bantuan yang bisa mereka berikan saat saya kelihatan tersesat,
bahkan saya hampir tidak pernah menemukan ada orang membuang ludah atau malahan
"buang air" di pinggir jalan, atau
memberikan siulan kepada lawan jenisnya.
Jadi, apakah Land of
Freedom berarti kita bebas berbuat sekehendak hati kita? Kesimpulan saya kok
tidak.
Point saya adalah, bahwa ada
nilai-nilai budaya di sana yang mungkin berbeda dengan nilai-nilai budaya kita disini,
yang di dalam era globalisasi sekarang ini bisa kita manfaatkan untuk
memperkaya wacana kita, sehingga kita tidak lagi gumunan (mudah heran)
dan kagetan.
Balikpapan, 6 Desember 1999
Heru Pramono
[Kembali]