Catatan Kiriman Sahabat :

 

Gudeg Dan Selera

(Tulisan ini kutujukan untuk seorang kawan yang sedang gundah di persimpangan jalan. Bajaj....eh Badai Pasti Berlalu).

 

Istri saya kemarin mencak-mencak soal makan siangnya. Bukan soal enak apa enggaknya, tapi mahalnya itu lho. Soalnya si doi enggak nyangka makanan yang bahannnya dari ikan kok mahalnya enggak ketulungan. Beruntung dia makan bareng ibu-ibu lain yang gemar "mengudap", sehingga setelah "bantingan" jatuhnya jadi murah, kabarnya si bandar malahan "untung" karena hasil bantingannya melebihi budget.

 

Saya katakan padanya bahwa yang namanya cuisine, ikan teri dan tempe gorengpun bisa jadi mahal tergantung cara mengolah dan menyajikannya. Kebetulan saya punya sahabat tukang masak di hotel berbintang, jadi saya tahu bener duit mereka datangnya dari bagaimana dia mengolah bahan makanan dan menyajikannya sedemikian rupa supaya enak di mata, enak di lidah dan kesannya jadi "wah".

 

Tapi soal selera siapa yang bisa menyangkal. Walaupun saya dan teman saya, mas Indro Widodo, sama-sama suka gudeg, tapi saya suka gudeg Plengkung Wijilan1) yang kering, sedangkan Indro suka yang model gudeg Juminten1). Atau, mas Teguh Prasetyo yang suka ikan trakulu bakar biasa, sedangkan mas Kukuh suka yang bumbu rica-rica. Ada juga yang selera makannya tergantung pada tempat dan keadaannya.

 

Dulu waktu masih kerja di ARCO Landmark, malam hari bubaran kantor kalau pulang telat kami sering makan “nasgor piza” (nasi goreng pinggir zalan) di warung tenda pinggir danau Setiabudi. Bandingkan dengan nasi gorengnya Mandarin Oriental Hotel, misalnya. Sama-sama nasi gorengnya tapi beda cara olah sajinya, beda ongkosnya, beda tempat mengudapnya, beda obrolannya. Walau lebih "wah" makan di Mandarin Oriental, tapi “nasgor piza” kayaknya lebih enak karena dilahap sambil rame-rame bercanda dalam suasana akrab dan bersahabat.

 

Pendek kata, soal makanan memang bisa jadi sangat subyektif. Bahkan bagi sebagian orang  mirip dengan agama. Bahan dasarnya boleh saja sama, meski cara olah sajinya berbeda. Hal ini yang kemudian bisa merubah cara pandang seseorang terhadap makanan tersebut, yang kemudian mempengaruhi harganya.

 

Kemudian orang merasa terangkat gengsinya sudah bisa makan suatu makanan mahal, ditempat exclusive, bersama-sama orang berjas berdasi, keren, ayu, wangi dsb. Dan tidak jarang kemudian gengsi ini berubah menjadi kesombongan. Makanan pilihankulah yang puuaaling uuueeenak. Padahal kalau dipikir-pikir toh intinya sama saja : makan dan makanan. Kalau mau dikembangkan lagi tujuannya : makan kenyang, makan yang enak, makan yang sehat.

 

Makanan boleh jadi menggiring orang membentuk suatu komunitas yang sehomogen mungkin, dan mencoba terus berjalan dalam komunitas tersebut. Padahal orang lain juga perlu makan, meski jenisnya berbeda. Ada komunitas lain penggemar durian, misalnya, karena anggotanya penggemar durian. Ada komunitas tongseng, ada komunitas makanan Padang, ada komunitas Saksang.

 

Lalu apakah saya di komunitas gudeg ini harus kuatir kalau ada orang lain yang nawarin masakan Padang? Karena saya adalah “Pria yang Punya Selera”  dan “Ku Tahu Apa yang Ku Mau”, saya berani bersikap silahkan tunjukkan dan tawarkan apa yang kau punya, terserah saya yang memutuskan apakah saya suka atau tidak.

 

Suka dan tidak suka, enak tidak enak, selera setiap orang bisa berbeda. Istri saya cukup bijaksana untuk tidak menawari saya makan kweetiauw begitu tahu saya tidak suka. Tapi dia akan carikan saya bihun goreng selera saya, saat kami makan bersama di tempat dia bisa menikmati kweetiauw kesukaannya. Toh saya nggak berhak protes kok dia makan kweetiauw bukannya bihun goreng. Begitu juga sebaliknya. Dengan begitu saat makan kami bisa lebih berkwalitas lagi, lebih karena merasakan kebersamaan dan saling pengertian itu sendiri, kami bisa berbincang atau merancang masalah-masalah lain yang bisa lebih bermanfaat ketimbang ribut soal selera dan makanan.

 

Terus bagaimana kalau ada yang pengin makan durian di rumah sementara saya nggak suka bau durian? Ya saya keluar rumah dulu, kalau mereka sudah selesai saya pulang. Kalau mereka menganggap saya perlu berada di antara mereka, tentu mereka akan berusaha agar selama saya bersama mereka tidak ada bau durian sama sekali. Jadi ya tergantung niat baiknya saja. Gitu saja kok repot.

 

Kalau ada orang bertanya kepada saya kenapa kok suka gudeg, saya akan bilang : “perduli amat saya memang suka kok”. So simple to ?

 

Salam,

 

Balikpapan, November 2000

Heru Pramono

_______

 

1)Plengkung Wijilan dan Juminten : nama tempat jualan gudeg yang diambil dari nama tempat atau nama orang. 

 

 

[Kembali]