Catatan Kiriman Sahabat :

 

Mengunjungi Perkampungan Daya

 

Selama 2 tahun tinggal di Kalimantan Timur, kami sekeluarga belum pernah berkunjung ke perkampungan saudara kita Suku Daya (tadinya saya pikir Dayak, thanks to one of my friend that remind me that Daya is the correct name). Kalau toh di akhir minggu kami offroad ke pedalaman, yang kami jumpai adalah saudara-saudara kita ex-transmigran dari tanah kelahiranku.

 

Sebenarnya pada liburan sekolah anak-anak bulan lalu, kami beserta beberapa keluarga "pendatang" merencanakan trip ke pedalaman, menggunakan kapal menyusuri sungai Mahakam, untuk melihat kehidupan saudara-saudara kita warga Daya tsb. Namun sayang peristiwa Sampit keburu meletus, sehingga demi keamanan kami mengurungkan niat kami.

 

Kawan-kawan yang berasal dari Jawa Timur khawatir - Eee..siapa tahu jangan-jangan masih ada darah Madura mengalir di tubuhnya - bila "tercium" oleh orang Daya bisa jadi langsung dihabisi, persis foto-foto yang beredar di internet itu.

 

Kebetulan long weekend kemarin kami kebingungan mau bikin acara apa. Beberapa kawan "nekad" berangkat jalan darat mengunjungi perkampungan Daya,  kurang lebih 20 km di utara Samarinda kearah Bontang, di suatu desa bernama Pampang. Kebetulan anak-anak kami dikirim oleh sekolahnya mengikuti pertandingan di Samarinda hari Sabtu, sehingga kami putuskan untuk menginap di Samarinda.

 

Jalan raya Samarinda – Bontang kondisinya cukup bagus hanya ada beberapa bagian yang sedikit rusak akibat tanah longsor (jangan bandingkan dengan jalan-jalan di Pulau Jawa yang kondisinya cukup mewah). Setelah mencapai KM-15 kearah Bontang, ada jalan masuk beraspal ke kiri kurang lebih 5 km. Meskipun jalan beraspal, tapi ada beberapa bagian yang rusak. Juga meski mobil sedan bisa lewat disini, tapi saya sarankan untuk menggunakan kendaraan jeep atau minibus, apalagi setelah turun hujan.

 

Desa Pampang sendiri, menurut kami bukanlah desa Daya yang tradisional. Pengaturan rumah sudah mengikuti aturan "orang kota". Di kiri kanan jalan berderet rapi rumah-rumah panggung yang cukup terawat dikelilingi halaman yang asri. Di kampung ini setiap hari Minggu siang, dipentaskan pertunjukan kesenian Daya di suatu rumah Lamin di tengah lapangan desa.

 

Rumah Lamin adalah rumah besar (mirip rumah Gadang di Minang) dimana beberapa keluarga di dalam satu keluarga besar (marga) tinggal. Saya sempat menanyakan mengapa pertunjukan diadakan siang hari (jam 2 sampai jam 3). Menurut penuturan mereka, dihari Minggu pagi mereka pergi ke gereja - kebaktian pagi terakhir dimulai pukul 11 siang, sedangkan kebaktian sore dimulai pukul 4. Woouw........., ternyata mereka sangat religius. Kita diajak berdoa sebelum pesta seni dimulai, begitu pula ketika pesta berakhir.

 

Berbicara dengan mereka terasa bahwa mereka sangat menghormati tamunya. Orang-orang ini ramah dan santun. Ketika salah satu mobil rombongan kami terperosok ke dalam lumpur, orang-orang ini dengan  sukarela membantu kami, tanpa minta imbalan.

 

Sulit dipercaya dalam peristiwa Sambas dan Sampit suku mereka bisa begitu kejam melibas suku bangsa lain. Yang jelas mereka ini sangat bangga akan kebudayaan dan adat istiadat mereka, begitu yang saya tangkap di dalam pembicaraan kami. Pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang polos dan lugu, yang akan mengikuti setiap kesepakatan yang telah dibuat. Pengingkaran terhadap kesepakatan sulit dicerna oleh akal mereka.

 

Kami sempat berpotret bersama dengan orang-orang Daya bertelinga "panjang" di sini. Kami dikenakan "fee" Rp. 15.000,- setiap kali berfoto dengan orang-orang Daya tradisionil ini, sesuai ketentuan yang tertulis di depan gerbang rumah Lamin. Jangan coba-coba membohongi mereka, bisa kesambet, kata kawan saya. Anak-anak Daya "masa-kini" yang minta saya foto, ikut-ikutan minta uang juga meski "cuma" Rp. 5.000,-.

 

Hal lucu terjadi waktu saya memberi mereka uang ribuan baru, mereka bilang mereka nggak kenal uang itu, jadi minta ganti. Maka saya ganti, istri saya tetap berikan uang baru kepada mereka sambil bilang "tolong tunjukkan uang baru ini ke pak Gurumu besok, katakan bahwa sekarang ada uang seribuan baru".

 

Gadis Daya umumnya berkulit kuning - mirip Cina, namun yang saya temui disini umumnya kulit mereka kurang bersih, maklum sarana air bersih memang belum tersedia di kampung ini. Bahkan salah seorang penarinya ada yang mirip “indo”, mungkin dulu ada bule yang menebar "benih" di sini. Beberapa kali istriku nyaduk (menendang ke arah perut) perutku karena aku terlalu getol menjepretkan lampu blitz ke penari “indo” ini.

 

Ibu tetangga depan rumah yang ikut dalam rombongan kami bahkan membawa video photographer professional untuk mengabadikan pesta kesenian ini atas permintaan kantornya. Tentu untuk menetralisir berita tentang kerusuhan Sampit di luar negeri yang bisa memporak-porandakan bisnisnya di Kalimantan.

 

Pengalaman yang mengesankan bertemu dengan suku Daya ini. Mas Yusuf Iskandar mungkin bisa membandingkannya dengan suku Indian di Amerika sana. Saya pernah mengikuti kursus management di US dulu, dimana salah satu pesertanya adalah Indian. Meski kami hanya bersama-sama selama 5 hari, saya masih ingat dengan jelas kepolosannya - keramahannya - juga selalu nice dan tidak suka berdebat. Benar-benar mirip saudara kita suku Daya yang saya jumpai di Pampang ini.

 

 

Balikpapan, akhir Maret 2001

Heru Pramono

 

 

[Kembali]