Catatan Kiriman Sahabat :

 

Coklat Lagi

Ketika memperingati Valentine's day tempo hari, gadis kecilku minta dibelikan coklat - yang akan dibagi-bagikan pada temannya di sekolah. Aku juga nggak tahu apa hubungan Valentine dengan coklat. Yang jelas, di salah satu iklan pernah tak baca : "Dengan coklat, cinta anda semakin lekat di hari Valentine"...........duuuuhhhhh.

 

Sambil berpikir apa yang harus aku katakan pada anakku tentang coklat, aku buka beberapa referensi tentang coklat. Maksudku supaya gadis kecilku tahu betapa panjangnya rantai yang harus ditempuh untuk menghasilkan sepotong permen coklat.

 

Ternyata sebagian besar coklat dihasilkan dari Asia. Di Indonesia, sentra produksi coklat saat ini berada di daerah Sulawesi. Petani coklat sejak jaman krismon mendapat berkat sebagai pengumpul dollar. Ya, harga coklat memang dalam bilangan dollar. Petani coklat di Sulawesi ini mirip petani cengkeh 10 - 20 tahun lalu, sebelum diporak-porandakan BPPC-nya Tommy Soe.

 

Pohon coklat berbuah sejak usia 3,5 tahun, dan lebat-lebatnya pada usia 7 tahunan. Dari buah yang masak dipisahkan bijinya lalu dikeringkan. Biji kwalitas eksport jumlahnya maximum 110 biji/100gram (detail amat...), kurang lebih sebesar biji rambutan. Dari petani di pedalaman, coklat dikumpulkan para tengkulak (tingkat desa), yang kemudian menyetorkan ke boss besar (tingkat kecamatan/kabupaten), terus ke eksportir (tingkat  propinsi - di Makassar). Eksport pada umumnya ke Belanda.

 

See, rantainya cukup panjang khan? Pembeli adalah raja ternyata tidak berlaku disini. Petanilah saat ini yang menentukan harga. Bila harga sedang turun, petani menyimpan coklatnya, karena coklat bisa bertahan sampai 6 bulan.

 

Pada musim haji tahun  ini, kloter Sulawesi memang didominasi petani-petani coklat ini. Kawan di Astra mengatakan, petani coklat ini adalah potensial bagi produk otomotif Astra. Target penjualan Astra setahun, bisa tercapai hanya dalam tempo 3 bulan saja di daerah penghasil coklat di Sulawesi ini.

 

Disamping apa yang dikemukakan dalam tayangan Republika, ternyata coklat mengandung banyak racun dari sono-nya. Sejak di kebun sudah terkena pestisida, kemudian setelah dipetik harus diinjak-injak untuk memisahkan bijinya. Biji kering kemudian disemprot oleh petani, dan oleh eksportir kena fumigasi (pencegah jamur dan rengat). Sementara itu biji coklat juga mengandung senyawa sejenis kafein pada kopi yang menyebabkan orang ketagihan.

 

Sesampai di Belanda, biji coklat digiling, diambil minyaknya yang disebut butter (berbeda dengan butter di margarine). Butter ini kemudian dikirim ke Swiss untuk jadi Toblerone, bisa ke Inggris jadi Cadburry, yang jelas nggak ke Indonesia, sebab di Indonesia orang hanya mengemas atau tukang bungkus saja seperti Van Houten, Windmolen dsb.

 

Jadi intinya ketika Anda mengigit coklat yang dihadiahkan orang yang anda sayangi, ingatlah bahwa prosesnya sangat panjang, sama seperti cinta. Tidak ada instant choco atau instant love. Hikmah yang lain adalah “cinta” yang Anda berikan mungkin saja “beracun” seperti halnya coklat.

 

 

Pebruari 2000

Heru Pramono

 

 

[Kembali]