Catatan Kiriman Sahabat :
Yogya Dan Becaknya
Orang bilang kota
Yogya dan becaknya adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Yogya
tanpa becak bagai sayur tanpa garam (cuma cocok buat orang sakit darah tinggi
stadium lanjut). Begitulah kendaraan roda tiga ini lekat dengan sosok
Ngayogyokarto1). Ada juga andong di sana, tapi kenangan naik becak
bersama kekasih tentu lain kesannya. Romantis, katanya.
Kota-kota lainpun
sebenarnya punya becak juga. Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan dll.
Tapi jangan coba cari becak di Balikpapan ataupun Papua misalnya, yang tanahnya berbukit-bukit, bisa-bisa kempol (paha) si abang becak ketinggalan
kalau harus narik becak ke arah
perbukitan. Meski kota-kota lain memiliki becak, tidak berarti bahwa becak
Yogya sama dengan becak kota-kota lainnya. Sangat mungkin becak di Yogya akan
tetap dilestarikan – tidak di-rumpon-kan seperti di Jakarta - karena kendaraan
ini seolah-olah menjadi trade mark-nya
Ngayogyokarto Hadiningrat1).
Yogya tanpa tugu,
tanpa gudeg, tanpa becak, tanpa andong, bukanlah Ngayogyokarto lagi. Sangat
menakjubkan, tatkala Yogya kebanjiran tourist,
para "supir" becak tidak hanya ndlongop
(melongo) saja. "Malioboro
Mister...........tri tousen" atau "Mister, raun raun (round round)...ten tousen" begitulah tawaran tukang becak Yogya. Konon ada
kursus singkat bahasa Inggris buat mereka ini.
Kita tahu becak akan
sangat-sangat berguna tatkala kaki enggan diajak berjalan terlalu jauh.
Berjalan dari Tugu ke Benteng Vrederburg, yang sekitar satu kilometer jaraknya,
lumayan melelahkan terutama di siang bolong. Naik andong terlalu ribet, naik taksi kegedean ongkosnya. Becak merupakan pilihan yang tepat dan hemat.
Namun harus diakui
pula ada kalanya becak terasa menyebalkan di jalan raya, ketika dua-tiga becak
berjalan berjajar me-"makan" lebarnya (atau lebih tepat sempitnya)
jalan, seperti di Jalan Ngupasan, Ngasem, ataupun mBausasran. Kendaraan lain
terpaksa sabar berderet-deret di belakang mereka. Kadangkala bangjo2) pun
diterabasnya meski lampu menyala merah tanpa rasa bersalah sedikitpun. Harap
maklum, untuk bisa narik becak tidak diperlukan SIM dan tak perlu belajar
peraturan lalu lintas.
Rasa iba kadang muncul
juga di hati ini. Demi sesuap nasi, tukang becak mesti membanting tulang.
"Membanting" dalam arti yang sebenarnya. Di tengah lajunya kendaraan bermotor,
sepasang betis berotot harus mengayuh pedal, tetesan keringat sebesar
butiran-butiran jagung, dan hembusan napas sang pengayuh yang terengah-engah
mengejar rupiah yang tak seberapa.
Begitulah wajah Yogya saat ini, kehidupan
tradisional berdampingan erat dengan kehidupan modern. Masyarakat agraris berjalan bersama
industrialis, bahan kapitalis. Dan
manakala sistim tata kota modern diperkenalkan, warisan budaya serta merta
mendapatkan perhatian yang semakin besar untuk dipertahankan keutuhannya. Becak
merupakan salah satu ciri khususnya. Dimana lagi kudapatkan wacana semacam
ini?.
Agustus
2000
Heru
Pramono
_______
1)Ngayogyokarto
atau Ngayogyokarto Hadiningrat : sebutan lain (bersifat kedaerahan) untuk kota
Yogayakarta
2)Bangjo
: sebutan tidak resmi untuk traffic light,
singkatan dari abang-ijo
(merah-hijau)
[Kembali]