Sebuah Catatan :
Sumber Daya dan Manusia, adalah dua hal berbeda.
Penggalan kata yang pertama berkonotasi tak terbatas untuk dieksplorasi,
dieksploitasi dan diolah menjadi apa saja sebagai invisible resources.
Sedang kata yang kedua berkonotasi terbatas karena dia adalah gawan bayi
(bawaan sejak lahir) yang berarti sudah dikotak-kotak batasnya sejak dia lahir
ke dunia.
Meskipun demikian, ada kepastian yang tak
terbantahkan bahwa Gusti Allah itu sudah mendesain Sumber Daya dan Manusia
sedemikian luar biasanya, sehingga tidak akan pernah cunthel (mentok)
walau mau dimodifikasi seperti apapun juga. Artinya, hal-hal yang berkenaan
dengan Sumber Daya dan Manusia itu tidak akan pernah diselesaikan dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya. Itulah (salah satu) sebabnya, kenapa kalau kedua hal
itu dipertemukan maka yang sering muncul adalah keluhan, pertanyaan,
kecurigaan, grundelan (ngedumel), dan seterusnya, dan seterusnya.
Ketika saya sedang mempersiapkan materi presentasi
untuk Indonesian Mining Conference tahun 1985, tentang tambang bentonit di
Nanggulan, seusai kuliah di kampus Ketandan saya ajak seorang teman menemui seorang
petugas Kecamatan di sana. Sampai di kantor Kecamatan saya longak-longok
ke satu ruangan agak besar tapi di dalamnya hanya ada sedikit orang. Satu orang
baca koran, dua orang main catur, satu orang lagi nulis-nulis, dan ada beberapa
lainnya.
Ketika saya utarakan maksud kedatangan saya, dijawab
dengan ramah oleh salah seorang yang duduk paling dekat pintu agar saya
menunggu sebentar. Dalam pikiran saya, barangkali orang yang saya cari sedang
keluar ada urusan sebentar. Kira-kira 15-20 menit kemudian, salah seorang yang
tadi saya lihat main catur, mendekati saya dan berkata : “Cari saya, mas?”.
Lha-dhalah....., untung saya ini sudah "terlatih"
nunggu dosen, jadi saya berusaha untuk tidak sakit hati. Sungguh, pengalaman
itu saya nikmati, saya syukuri dan saya hikmahi. Karena dengan pengalaman itu,
kelak kemudian hari ketika saya sudah menjadi “pegawai”, saya bisa punya
pilihan : mau menjadi pegawai seperti petugas itu, atau yang lebih baik atau
justru lebih buruk. Coba kalau pengalaman itu saya lupakan, maka saya tidak
akan pernah tahu apakah saya ini menjadi pegawai yang seperti petugas Kecamatan
itu, atau justru lebih buruk, karena saya tidak punya pembanding.
Tahun 1989, esok harinya setelah turun dari mendaki
Gunung Rinjani, saya sempatkan mencari referensi untuk bahan artikel tentang
pariwisata Pulau Lombok, di Kantor Dinas Pariwisata Kotamadya Mataram. Setelah
mondar kesana mandir kesini karena tidak jelas saya mesti ke ruang mana,
akhirnya saya temui seorang petugas yang sedang thenguk-thenguk (duduk
tepekur tidak ada kerjaan), yang kemudian membantu membolak-balik laci, lemari
dan tumpukan-tumpukan buku (padahal yang dicari hanya sekedar booklet
tentang pariwisata).
Akhirnya ditemukan sebuah booklet dan
dikatakannya bahwa booklet-nya tinggal satu itu. Karenanya dia lalu
berbaik hati dan menawarkan akan membantu mem-fotokopi. Lalu saya titipkan uang
Rp 5,000,-. Besoknya saya mampir lagi ke kantor itu, dan petugas yang sama pun
dengan ringan berkata : “Bukunya dibawa saja Pak, dan uangnya untuk ganti
ongkos cetak”. Dalam hati saya bersyukur, eh... siapa tahu orang tersebut
memang sedang membutuhkan uang, dan uang saya yang Rp 5,000,- ternyata bisa
membantu menyelesaikan persoalannya.
Ketika
saya mengurus aplikasi untuk memperoleh SIM di Amerika, dari rumah saya
membayangkan situasi seperti ketika saya buang-buang waktu ngurus SIM di Yogya.
Ternyata meleset, jam 9 pagi saya tiba di kantor “Samsat” New Orleans langsung
mengikuti antrian bersama banyak orang lainnya. Pelan tapi pasti dan tertib,
akhirnya sampai ke tempat pendaftaran dan mengisi data-data pribadi, lalu ke
ruang tunggu untuk juga antri ikut test tertulis bersama komputer (yang jelas
tidak bisa diajak kompromi).
Tahap satu lulus, lalu tahap kedua juga lulus,
kemudian diberitahu nanti siang datang lagi untuk test praktek. Dan semua tahap
berjalan sesuai rencana, begitu test praktek selesai, lalu disuruh tunggu (juga
ngantri) untuk foto, lalu bayar $18.00, dan pulang dengan sudah membawa SIM
resmi.
Semua berlangsung dengan mudah, lancar, ramah,
bahkan sang petugas rela minta maaf kalau dirasa pelayanannya agak lambat
(padahal kita semua melihat bahwa berjalan-lambatnya bukan karena klemak-klemek
atau ogah-ogahan atau hal-hal lain yang tidak perlu, melainkan karena memang banyak
yang diurus pada saat yang sama). Dalam hati saya gumun (heran), kok
bisa begitu mudah dan enaknya. Padahal biasanya kalau saya ingin lebih enak dan
mudah, selalu perlu uang tambahan.
Seorang nenek berusia sekitar 68 tahun, di Metairie,
New Orleans, punya kegiatan harian yang bagi saya membuat gumun. Sekitar
satu jam setiap pagi dan sore, waktunya dipergunakan untuk membantu
menyeberangkan jalan bagi anak-anak sekolah yang turun dari mobil hantaran atau
bis sekolah, karena bisnya tidak bisa masuk ke halaman sekolah. Dan pekerjaan
itu sudah ditekuni lebih 15 tahun secara sukarela (bandingkan dengan nenek atau
kakek kita saat pada usia yang sama). Kenapa dia lakukan itu ? Hanya agar
waktunya bisa bermanfaat bagi orang lain.
Ada ribuan contoh ketika sebuah Sumber Daya dimiliki
oleh Manusia, maka berubah menjadi “kemubaziran”. Tapi juga ada ribuan contoh
ketika Sumber Daya itu dipertemukan dengan Manusia, maka lahirlah sebuah karya
yang bermanfaat bagi sesamanya. Lalu dimana bedanya?
Sebagian orang menyadari bahwa bekerja adalah
kewajiban hidup (agama apapun di dunia mengajarkan begitu), karena itu mestinya
selalu disertai dengan rasa tanggung-jawab untuk menyelesaikannya dengan baik
dan benar. Sebagian orang lainnya beranggapan bahwa bekerja adalah kelengkapan
untuk hidup, karena itu kalau dia punya pekerjaan, maka penyelesaiannya akan
ditentukan oleh banyak “parameter”, sebagian diantaranya adalah imbalan, atau
tauladan yang salah, atau sikap semau gue, atau tergantung situasi dan
kondisi.
Tinggal sekarang kita mau menjadi kelompok manusia
yang mana, yang sekiranya layak untuk mengemban sebutan Sumber Daya Manusia,
dalam satu sebutan.
New Orleans, 23 Desember 1999.
Yusuf Iskandar
[Kembali]