Sekedar Catatan :

 

Nglaras

 

Mulanya saya jumpai kata nglaras sebagai bahasa pergaulan di Yogya pinggiran, dan jelas bukan bahasa Jawa baku. Secara etimologis saya tidak tahu asal muasalnya kata ini. Kata nglaras sekarang bisa berkonotasi tradisional dan sentimental, dan menjadi ungkapan yang enak di-pergaulan-kan, khususnya di daerah Ngayogyakarta. Jadi siapapun tidak perlu merasa bersalah kalau tidak kenal dengan kata ini.

 

Andaikan suatu saat Anda berada dalam suasana seperti ini : duduk santai di atas balai-balai atau kursi goyang, menghisap dalam-dalam rokok kesukaan, di sampingnya tersedia secangkir kopi atau teh "nas-gi-thel" (panas-legi/manis-kental) dan secawan pisang goreng atau ubi rebus, sayup-sayup terdengar alunan musik klenengan, sambil mata Anda antara setengah melek setengah merem, lalu sejenak melepaskan beban pikiran yang neko-neko (macam-macam). Maka saya akan mengatakan Anda sedang nglaras. Bermakna jauh lebih dalam ketimbang sekedar santai atau rileks, lebih ke suasana "menikmati hidup".

 

Boleh percaya boleh tidak, justru pada saat seperti itu biasanya tiba-tiba Anda akan ingat kunci almari yang kemarin hilang dan membuat seharian uring uringan (termasuk kalau masih ada hutang kepada siapa yang belum terbayar). Atau tiba-tiba menemukan ide bagaimana mengembangkan kios rokok Anda yang lakunya seret, atau usaha istri jualan kue untuk menambah penghasilan. Karena pada saat itu pikiran menjadi jernih dan logika akan mengalir dengan sendirinya.

 

Boleh percaya boleh tidak, bahwa tidak setiap orang bisa menemukan suasana nglaras seperti itu, akibat seharian terbenam dalam urusan duniawi yang tidak ada habisnya. Karena itu berbahagia dan bersyukurlah kalau bisa mengalaminya.

 

Dan yang ini Anda perlu percaya, bahwa dengan nglaras Anda akan terbantu dan terlatih mengendalikan stress yang datang menyerang Anda di saat-saat yang tak terduga.

 

Kegiatan yang tidak produktif? Ya dan Tidak.

 

Ya, karena memang secara fisik tidak ada produk barang atau jasa apapun yang akan Anda hasilkan. Dan itu berarti sama tidak produktifnya dengan jalan-jalan ke Mall, nonton bioskop, piknik ke luar kota, kalau sekedar refreshing yang diharapkan. Bahkan dengan nglaras, Anda sebenarnya lebih tidak konsumtif.

 

Tidak, kalau itu akan membangkitkan kegairahan baru. Banyak ide-ide kreatif dan ide-ide gila muncul justru di saat sedang nglaras seperti itu, yang setelah Anda puas, di saat yang tepat lalu ditindak-lanjuti dengan upaya lebih nyata, tidak serta-merta tentunya. Para seniman dan pemikir seringkali menemukan gagasan, ide, ilham, atau apapun namanya, atas karya-karya besar mereka justru pada saat nglaras itu (tentu dalam bentuk dan cara yang tidak sama seperti ilustrasi di atas).

 

***

 

Dengan medium yang berbeda, kalau periode nglaras itu berlanjut kelewat intens, memang bisa menuju ke ambang ekstase (bukan ekstasi), dimana batas antara kesadaran dan ketidaksadaran (bukan karena sakit atau gangguan kejiwaan) membawa pikiran Anda melayang ke satu "tempat yang lain". Seorang sufi seperti Iqbal atau Rumi, sangat menikmati medium ini guna lebih mesra berinteraksi dengan Sang Maha Pencipta. Danarto, adalah satu dari banyak penyair yang sangat paham dengan medium ekstase ini (bagi yang beragama Islam, akan menjadi sangat nikmat kalau diisi dengan dzikir).

 

Nglaras adalah pekerjaan bermalas-malasan yang terencana yang saya sukai. Terencana karena saya tetap harus memperhitungkan kapan waktu yang tepat dan berapa lama, sehingga tidak mengorbankan kegiatan lain yang memang harus diselesaikan. Hanya saja karena saya tidak begitu suka dengan klenengan maka saya ganti dengan musiknya Pink Floyd atau Genesis atau yang sejenis itu. Nglaras adalah juga gaya hidup (sebaiknya disebut life style biar tidak terkesan kampungan) yang paling murah dan indah se dunia.

 

Akhirnya, kalau ada di antara Anda yang juga suka nglaras, maka saya ingin wanti-wanti (berpesan) : agar kalau Anda sedang nglaras jangan sambil mencoba memecahkan soal-soal matematika, karena sejenak kemudian Anda akan bangun dan mencari kalkulator, dan itupun belum tentu berhasil.

 

 

New Orleans, 15 Desember 1999.

Yusuf Iskandar

 

 

[Kembali]