Sebuah Catatan :

 

Konflik

 

Salah satu tanda adanya sebuah kehidupan adalah karena ada konflik, dalam berbagai penjelmaannya. Entah konflik fisik atau batin, entah nyata atau invisible. Dengan adanya konflik, maka manusia akan berpikir untuk mencari jalan keluar pemecahannya. Bisa berhasil dan bisa tidak. Jika berhasil, dia akan melenggang dengan santai dan senyum manis. Jika Tidak? Dia akan cemberut dan kesal, lalu berusaha menghindar jauh-jauh dari sumber konflik. Pertanyaannya adalah : ketika konflik terjadi, bagaimana cara me-manage-nya agar muncul jalan keluar yang indah?

 

Ketika Gus Dur tampil sebagai Presiden, banyak pihak mengharapkan berbagai konflik kenegaraan akan bisa teratasi dengan lebih baik. Ternyata masih belum menjamin. Apakah kalau Mega yang menang situasinya akan lebih baik? Juga belum tentu. Bagaimana kalau Amin Rais, atau Wiranto, atau Akbar Tanjung? Tidak ada satupun yang bisa menjamin akan bebas konflik. Karena ya memang itu adalah tanda sebuah kehidupan bernegara.

 

Negara yang adil dan makmur gemah ripah loh jinawi adalah bukan berarti tidak ada konflik, melainkan setiap konflik bisa dicarikan jalan keluarnya dengan adil, jujur dan arif. Sebuah rumah tangga yang "sakinah, mawaddah wa-rahmah" adalah bukan rumah tangga yang bebas konflik, tetapi setiap konflik keluarga bisa diselesaikan dengan mesra dan manis di antara suami, istri dan anak-anaknya. Sebuah kampung yang aman, tenteram dan rukun, adalah bukan kampung yang tanpa konflik, tetapi setiap konflik yang terjadi antar warganya dapat dijembatani dengan cara yang arif bijaksana dan penuh rasa persaudaraan.

 

Setiap konflik tentu perlu ada jalan penyelesaian. Tapi pasti tidak akan pernah bisa memuaskan semua pihak. Di setiap sisi dari bagian konflik itu pasti ada yang mengalami keuntungan dan kerugian, artinya tetap perlu ada pihak yang "sedikit" dikorbankan di satu saat. Di saat yang lain, maka pihak lain akan berganti memberikan "sedikit" pengorbanan.

 

Demikian seterusnya, secara proporsional setiap konflik tidak akan pernah bisa diselesaikan dengan 100% memuaskan semua pihak. Kalau, sudah demikian kok masih ada pihak yang tidak bisa menerima dan merasa tidak puas, maka silakan untuk tidak suka. Hanya saja harap diingat, bahwa "tidak suka" tidak sama artinya dengan "benci".

 

Seorang Wakil Gubernur mengundurkan diri karena tidak suka dengan kebijaksanaan politik yang terjadi. Seorang Ketua KPU (Komisi Pemilihan Umum) mengundurkan diri karena tidak puas dengan mekanisme kerja yang ada. Anggota MPR mengundurkan diri karena tidak sreg dengan siatuasi yang terjadi saat ini. Jama'ah NU memisahkan diri karena tidak cocok dengan pola kerja pemimpin yang dipandang sebagai Imam-nya. Tapi yang pasti, mereka memisahkan diri bukan karena membenci, melainkan hanya sebatas tidak suka, tidak cocok, tidak setuju atau tidak sreg.

 

Lalu apa artinya? Silakan untuk beda pandangan, beda ide, beda persepsi, beda keinginan, beda kesukaan, tapi hendaknya jangan karena membenci atau apalagi sampai menjelek-jelekkan. Memisahkan diri adalah langkah yang bijaksana (dibandingkan dengan maki-maki dan menjelek-jelekkan), sepanjang tidak disertai dengan rasa benci.

 

Itulah sebabnya, maka perlu ada seorang yang dipandang pas untuk menjalankan fungsi penengah yang arif dan bijaksana serta bebas dari conflict of interest. Perlu ada seorang Bapak yang mampu menjadi pengayom bagi sebuah rumah tangga yang harmonis bersama anak-anak dan istrinya, perlu ada seorang Ketua RT yang bersedia membimbing warganya berkehidupan yang rukun dan tenteram, perlu ada Gus Dur (untuk saat ini) yang siap bersama-sama rakyatnya mencari solusi terbaik atas berbagai masalah negara.

 

Memang tidak ada sebuah kehidupan dan sistem yang menyertainya yang bebas konflik, dan memuaskan semua pihak.

 

 

New Orleans, 29 Oktober 1999.

Yusuf Iskandar

 

 

[Kembali]