Sebuah Catatan :

 

Jebakan ?

 

Menyimak berbagai pembicaraan tentang "Jebakan-jebakan dan Pak Polisi", yang kemudian terlintas dalam pikiran saya adalah bahwa kalau kita mengemudi di Jakarta, maka harus sangat waspada dan hati-hati. Justru bukan karena ancaman terhadap kemungkinan kecelakaan, melainkan kemungkinan "terjebak" di jalan, lalu konangan (ketangkap) Pak Polisi, dan akhirnya keluar uang ekstra.

 

Apa yang ingin saya sampaikan ini adalah pengalaman mengemudi di negeri orang, tepatnya di Amerika. Bukan maksud saya untuk membanding-bandingkan (karena sangat tidak fair membandingkan ketela rambat dengan apel), melainkan sekedar bahan tambahan untuk menuju ke pemikiran bahwa : "mestinya bisa lebih baik, asal............".

 

Kesan yang saya rasakan ketika pertama kali mengemudikan kendaraan di jalan-jalan di Amerika, khususnya di New Orleans dimana saya tinggal, adalah : Pertama, nyaris tidak pernah melihat Pak Polisi berdiri kepanasan di perempatan jalan. Hanya pada saat ada keramaian di satu lokasi saja, Pak Polisi akan mengatur dan mengarahkan jalur jalan akibat adanya kepadatan lalulintas yang tidak biasanya, terkonsentrasi pada satu lokasi.

 

Kedua, betapapun padatnya lalulintas di suatu perempatan yang tanpa lampu abang-ijo (traffic light), tanpa ada Pak Polisi, tanpa ada tulisan apapun kecuali rambu bertuliskan "STOP" berwarna putih di atas dasar warna merah segi delapan, tapi kok tidak pernah macet. Tidak terdengar bungi klakson "tat...tet...tat...tet..." yang membisingkan telinga, paling-paling harus bersabar karena arus lalulintas bergerak perlahan.

 

Ketiga, ada anekdot tebakan : apa yang membedakan kita (pengemudi di Indonesia) dan mereka (pengemudi di Amerika) ketika sampai di traffic light. Kalau kita, umumnya begitu melihat lampu menyala kuning maka cenderung untuk tancap gas setancap-tancapnya, disertai harapan agar tidak terjebak Pak Polisi ketika lampu tiba-tiba berubah merah. Sedangkan kalau mereka, umumnya cenderung untuk mengurangi kecepatan dan siap-siap berhenti, padahal sudah jelas tidak ada Pak Polisi (meskipun sekali waktu ada juga yang lebih “gila” dari kita).

 

Pertanyaannya tentu kenapa bisa demikian? Enak benar jadi Pak Polisi di Amerika, tidak perlu susah payah kepanasan atau kehujanan, paling-paling patroli keliling kota dengan tetap duduk di dalam mobil, dan lalulintas tetap bergerak lancar.

 

Sekali waktu ketika masih baru mengemudikan kendaraan di Amerika, tiba di perempatan yang cukup ramai, mobil di depan saya bergerak maju dan masuk ke perempatan. Secara spontan (maklum sudah terbiasa), saya pun mengikutinya masuk ke perempatan. Pada saat yang sama mobil dari arah kiri juga masuk ke perempatan, lalu terdengar bunyi klakson. Saya langsung sadar, bahwa kalau sampai terdengar bunyi klakson biasanya pasti ada yang salah, entah apa atau siapa.

 

Rupanya saya yang salah, terbukti beberapa pengemudi kendaraan semua menatap ke arah saya. Baru setelah lolos dari perempatan saya mencoba mengevaluasi diri, apanya yang salah? Rupanya, jika kita berada di perempatan seperti itu maka satu persatu kendaraan yang sudah tiba di ujung perempatan, secara bergantian masuk atau menyeberang perempatan mengikuti putaran searah jarum jam. Dalam hal ini, mestinya saya menunggu satu putaran dulu, baru masuk ke perempatan. Padahal tidak ada Pak Polisi dan tidak ada tulisan apapun. Tetapi nyatanya semua pengemudi secara disiplin mematuhi aturan itu.

 

Jenis pelanggaran lalulintas yang paling sering terjadi adalah speeding (melebihi batas kecepatan). Jangan coba-coba masuk ke daerah yang ada tulisannya "SCHOOL" melebihi kecepatan yang ditentukan. Bila ketangkap radarnya Pak Polisi, maka tanpa banyak pertanyaan akan diberi tiket "tilang" dan artinya siap dengan uang denda yang pasti lebih tinggi daripada speeding di tempat lain, masih lebih untung kalau SIM-nya tidak dibekukan sementara (perlindungan terhadap anak sekolah memang sangat ketat).

 

Dan semua denda adalah legal, tidak sembunyi-sembunyi, dan ada bukti pembayarannya, artinya masuk ke kas negara. Pilihannya adalah langsung menerima jumlah denda yang ditentukan (sesuai peraturan tentunya) atau mau beradu argumen dulu lewat pengadilan (yang tentunya perlu waktu ekstra).

 

Lalu bagaimana dengan kita di Indonesia? Mestinya bisa lebih baik, asal ...…. semua pihak sepakat untuk berdisiplin terhadap ketentuan yang ada (sehingga tidak perlu ada kecurigaan tentang jebakan, terjebak, menjebak, dijebak, dsb.). Atau memang di balik semua itu ada rangkaian akar permasalahan yang jauh lebih rumit? Pertanyaan inilah yang tidak pernah terjawab, sekalipun ratusan "penjebak kakap" dan "penjebak teri" sudah di-lengser-lengser-kan.-

 

 

New Orleans, 2 Juli 1999

Yusuf Iskandar

 

 

[Kembali]