Sebuah Catatan :
Gumun Itu Perlu
Ojo dumeh (jangan sok), ojo kagetan (jangan mudah
terkejut), ojo gumunan (jangan mudah heran), adalah satu diantara banyak
wanti-wanti-nya para leluhur bangsa Jawa. Yang terakhir itu
menjadi menarik, karena beberapa rekan mengemukakan contoh yang bisa
ditafsirkan positif dan negatif. Wong gumun saja kok enggak boleh.
Ingatan saya mencatat bahwa : gumun (heran)
itu perlu. Juga tidak ada yang salah dengan gumunan. Karena gumun
yang proporsional justru menguntungkan, mengandung hikmah, menyimpan energi tak
terduga, dan enak. Barangkali yang tidak tepat adalah gumun yang berlebihan,
karena akan cenderung untuk terlena dan lupa daratan.
Lebih 20 tahun yll, saya berkesempatan untuk
mengikuti pertemuan pemuda Asean di Wisma Pancasila Semarang (sekarang bangunan
ini sudah disulap menjadi Matahari Dept. Store oleh Orde Baru), saat itu Wisma
Pancasila merupakan salah satu bangunan megah di kompleks Simpang Lima
Semarang. Setiba di sana, saya dan teman saya yang sejak pagi berangkat dari
kampung ter-gumun-gumun, lha wong gedung kok pintunya kaca
semua. (pada masa itu di Semarang belum banyak bangunan moderen).
Ke-gumun-an saya membuat rasa ingin tahu dan
akhirnya berhenti sejenak untuk mengamati "barang aneh" itu.
Sementara teman saya saking gumun-nya, sambil tolah-toleh ke
atas-bawah-kiri-kanan, bablasss saja masuk gedung (karena kaca semua,
jadi beda antara pintu dan dinding menjadi seperti tidak nampak jelas).
Lalu..., dinding kacapun ditabraknya. Tidak ada yang pecah dan tidak ada yang
cedera, hanya saja sempat disenyumi bareng-bareng oleh banyak orang. Dalam hati
: "Untung bukan saya yang nabrak kaca".
Ketika belum lama saya tinggal di New Orleans, saya
menjumpai toko yang namanya "Dollar Tree". Katanya, barang apa saja
yang dijual disitu berharga US$ 1.00. Tentu membuat saya gumun, lha
wong jualan kok harganya seragam, murah lagi (tentu menurut ukuran
yang duitnya dollar). Padahal dari luar saya intip, barang yang dijual
macam-macam dan komplit.
Rasa gumun saya membuat sekali waktu mencoba
untuk masuk ke toko itu. Dan..., memang benar, di situ saya dapatkan sebuah
buku kumpulan karya seni foto oleh photograph Myriam Young yang dicetak di atas
kertas lux, berjudul "Memories of Daughters", seharga satu
dollar (bukunya asli, bukan fotokopian ala Balubur Bandung). Padahal buku yang
sama di toko-toko buku lainnya, termasuk Barnes & Nobel yang punya jaringan
luas di Amerika, djual dengan harga lebih US$ 7.00. Dalam hati : "Untung
lagi saya".
Terakhir dalam hati sebenarnya saya juga gumun
: "Lha wong Gus Dur kok bisa terpilih jadi Presiden". Tapi
saya percaya, kelak akan nampak hikmah apa yang akan muncul dengan Indonesia
di-presiden-i oleh Gus Dur.
Karena itu bagi saya : gumun itu perlu,
sepanjang proporsional dan tidak kelewatan. Karena -- biasanya -- akan
menumbuhkan rasa ingin tahu, memunculkan energi untuk menggali ada apa dibaliknya,
dan memberikan hikmah yang tak terduga. Setidak-tidaknya sense of gumun-nya
rekan saya Mas Mimbar Seputro sudah membuktikannya.
Gumun itu tetap perlu. Saya justru gumun, kalau
ada orang gumun kok digumuni.
New Orleans, 6 Desember 1999.
Yusuf Iskandar
[Kembali]