Surat
dari Sangatta :
Melarat di Tengah Kelimpahan
Beberapa hari yang
lalu, saya berkunjung ke daerah transmigrasi di Kalimantan ini. Rantau Pulung
namanya. Letaknya 3/4 jam masuk off-road
dari pemukiman di mana saya tinggal.
Ada delapan desa di
Rantau Pulung. Masing-masing dihuni warga trans dari berbagai daerah. Ada yg
asalnya Flores, Jawa Timur, (Kediri, Tulung Agung, dll.), juga dari Jawa
Tengah.
Kehidupan di sana amat
memprihatinkan. Tanahnya kurang subur. Irigasi pun belum ada, sehingga
pertaniannya tadah hujan. "Kami dulu dijanjiin akan penghidupan yg lebih
baik, namun ternyata di sini malah lebih parah dari di Jawa," kata Jimo,
asal Kediri. Jimo saat ini menanam sayur-mayur untuk menyambung hidupnya.
Menurut Jimo, dia ikut
transmigrasi karena diiming-imingi akan mendapat lahan untuk kelapa sawit.
Namun, sudah delapan tahun, janji itu ternyata hanyalah omong kosong. Sebagian
dari mereka pulang lagi ke kampung, sebagian lagi bertahan, meski dalam hidup super prihatin.
Yang lebih
memprihatinkan adalah nasib anak-anak. Di Rantau Pulung, hanya ada satu SMP
untuk 8 desa. Letak SMP itu jauh sekali. Ada anak yg harus berjalan empat,
delapan bahkan sepuluh kilometer tiap hari. Dengan kondisi jalan becek dan
licin bila pas hujan. Tidak ada transportasi yang memadai.
Waktu saya berkunjung,
saya ketemu dua anak yang sedang berjalan ke sekolah. Ia harus berjalan 6 km,
atau 1 setengah jam jalan kaki. "Bisa dibayangkan, sesampai sekolah mereka
capai, ngantuk. Selepas sekolah mereka harus pulang jalan, sampai di rumah
sudah capai juga, tak sempat belajar", jelas temanku setengah
menganalisis.
Karena itulah, selepas
SD, anak Rantau Pulung biasanya tidak sekolah. Mereka menunggu beranjak
setengah dewasa (belasan tahun) - lalu kawin. Hanya beberapa orang saja yang
beruntung bisa ke SMP dan ke SMA, mungkin dengan bantuan orang lain. (al.
Gereja kami sedang memberi beasiswa dan ditinggali beberapa dari mereka - tapi
hanya terbatas jumlahnya.)
Sedangkan sebagian
besar anak usia SMP dan SMU pergi ke Sangatta (desa-ku) lalu bekerja sebagai
pembantu. Seolah profesi pembantu menjadi masa depan bagi mereka.
Kondisi desa-desa di
sekitar tambang tempatku bekerja memanglah mengenaskan. Padahal, alam di mana
mereka tinggal sebenarnya kaya sekali. Bayangkan saja, bumi di dekat mereka
berada saja, mengandung batubara (minimal) 400 juta ton. Kalau harga batubara
minus harga produksinya mencapai US$15 per tonnya, maka uang yang bisa didapat oleh daerah itu adalah Rp. 42
triliun. Kalau dibagi rata penduduk desa, masing-masing mendapat Rp. 1 milyar
bersih. Bayangkan!
Namun, uang sebesar
itu akan menghilang dalam 15 tahun mendatang -
di bawa orang. Dan penduduk desa tersebut, akan ditinggal dalam keadaan
yang hanya sedikit lebih baik, atau sama saja, atau semakin memburuk. Dan
penderitaan mereka, dan anak-anak mereka terus berlanjut.
Dan kondisi seperti
itu tidak hanya ada di Rantau Pulung. Ada banyak lagi desa transmigrasi yg
mengenaskan karena janji palsu pemerintah, banyak lagi desa yg miskin meski di
sekitarnya ada kekayaan milyaran dolar, dan ada jutaan anak -anak yg tidak
memiliki masa depan....
Sangatta
(Kalimantan Timur), September 1999
Dikirimkan
oleh Anton kepada Heru Pramono
Email
: hpramono@unocal.com
__________
1)Trans : singkatan tidak resmi untuk kata
transmigrasi
[Kembali]